Minggu, 01 Oktober 2017

Lisan mu, Harimau mu

"Bu giginya mas David patah... berdarah"
Seorang anak tiba-tiba membuka pintu kantor dan mengabari hal tersebut.
Cepat aku meninggalkan kantor menuju kelas.. Hari itu pukul 12.55.
Ku lihat anak yang dipanggil 'Mas David' itu tersungkur memegang pipinya dan di depannya ada gumpalan tisu bekas mengelap darah. Dia menangis sesenggukan. Di tempat itu sudah ada  beberapa teman dan salah seorang guru lainnya.

"David.. coba ibu lihat itu pipinya.."
"Coba buka mulutnya.."
Aku mencoba melihat kondisinya. Bukan patah giginya, tapi robek dinding mulut bagian sampingnya.
Aku cek lagi dengan seksama.. Ya Allah ada bekas kuku di pipinya.
Kesimpulan sementara, dia habis berkelahi dengan temannya.
Aku perhatikan ke sekeliling anak itu.. dan yak, aku menemukan seorang anak di balik kerumunan anak lainnya sedang duduk menyandar tembok. Pandangannya menuju David, pandangan kesal. Oke nak.. mari kita selesaikan..

"Kelas 5 ayo ke kelas... yang tau ini ada kejadian apa sampaikan di kelas.." ajakku pada anak-anak kelas 5 yang ada di tempat itu.
"Kalian berdua, duduk depan ibu sini.. yang lain duduk melingkar deket ibu" perintahku.

Mahkamah kelas di mulai...
Bergulirlah penjelasan dari para saksi, penjelasan dari David dan anak yang kesal itu..

Lisan...
Yaa itulah penyebabnya, karena lisan yang tak terjaga
Sehingga tangan jadi tak terkendali
'Astaghfirullah..' lirihku

Penyebab dari kejadian itu tenyata karena lisan mereka berdua saling meledek. Lebih tepatnya saling memanggil dengan menyebut nama orangtua masing-masing berkali-kali. Tapi kenapa bisa sampai bertengkar seperti itu? Ternyata lagiiiii.. hhh.. karena ada yang memulai duluan meledek suka-sukaan. Ujungya? Saling tidak terima, yang berakhir robeknya dinding mulut bagian dalam salah satu diantara mereka.

"Saling meledek itu benar atau salah?" aku tatap mata kedua anak di depanku itu setelah mahkamah kelas selesai.
"Apa tadi manggil pakai nama orangtua itu salah? apa ada yang diganti atau di ledek nama orangtuanya??", aku sebukan satu per satu nama kedua orang tua masing-masing anak terebut.
"Ada yang salah?"
"Ngga ada bu." jawab mereka.
"Tapi dia manggilnya bekali-kali." kata anak yang kesal itu.
"Tapi salah ngga dia nyebut namanya?"
"Ngga bu." jawabnya.
"Ya sudah, itu hanya tidak sopan nak.. bukan berarti kalau kamu tidak suka lantas kamu boleh membalasnya secara fisik. Kalau di ledek dan kamu mau membalasnya, balas dengan ledekan juga. Kalau kamu tetap kesal, kamu bisa bicara sama dia kalau kamu tidak suka dia seperti itu. Tapi kalau dia tetap seperti itu, kamu menjauh saja." ku tatap wajah anak yang kesal itu.
"Kalau sudah luka begini, bagaimana? apa yang harus ibu sampaikan kepada orag tuanya? ke orang tuamu juga? tidak mungkin bu diam saja.", diam, anak yang kesal itu tak bisa menjawab.
"Ya sudah bu, aku minta maaf ya.." ucap David sambil mengulurkan tangannya kepada anak yang kesal padanya itu.
Diam. Tak bergerak anak yang kesal itu untuk menyambut tangan tanda permohonan maaf David.
"Kamu masih kesal?" tanyaku kepada anak itu dengan nada rendah.
"Iya bu."
"Kata ibu saya, walaupun bukan saya yang salah ko bertengkar saya minta maaf duluan aja karena itu lebih baik." jelas David tiba-tiba.
"Terus bagaimana caranya biar kamu tidak kesal lagi dengan David?" tanyaku pada anak itu. Dia mengeleng tidak tahu.
"Apa kamu tidak ingin melhat wajah David dulu untuk sementara?" tanyaku lagi untuk menyelsaikan masalah ini
"Ngga bu." dia menjawab akhirnya.
"Ya sudah David, tadi kamu udah mau minta maaf duluan, tapi dia masih kesal. Nanti saja lagi kalau dia sudah tidak kesal baru kalian saling minta maaf. Sekarag kamu boleh pergi" perintahku pada David. David pun pergi

Sejenak aku menarik nafas. Aku perhatikan seorang anak yang ada di hadapanku ini. Aku bisa melihat matanya berair menahan tangis. Wajahnya masih terlihat kesal. Dia benar-benar tidak suka nama orang tuanya dipanggil berkali-kali seperti itu.

Anak ini, aku mengenalnya sejak dia baru pertama kali masuk di sekolah ini. Dia anak yang baik, kreatif, dan sedikit pemalu karena artikulasi bicaranya yang belum jelas. Tetapi dia tidak pernah malu untuk bermain bersama teman-temannya, dia pemalu hanya dengan gurunya saja. Satu kekurangannya adalah emosinya yang tak bisa dia sampaikan karena bingung menjelaskannya sebab artikulasinya itu.

Sekarang, aku bertemu lagi dengannya sudah hampir satu bulan. Perubahannya setelah 3 tahun tak mendampinginya di kelas, dia mulai bisa mengatakan bahwa dia tidak suka dengan perlakuan temannya itu. Sedangkan untuk artikulasinya masih harus terus dilatih.

Sedih sebenarnya dengan kejadian ini. Ternyata dia bisa melakukan hal seperti itu saking kesalnya.

Esok paginya, semua anak kelas 5 aku kumpulkan.
Ku beri tahu pada mereka, bahwa mereka harus menjaga lisan yang mereka punya. Karena apa? Karena kelak di akhirat nanti, lisan itu akan ditanya pertanggung jawabannya, begitu juga dengan anggota tubuh lainnya. Jika digunakan untuk menyakiti saudaranya, temannya, atau orang lainnya, maka bagaimana akan memepertanggung jawabkannya di hadapan Allah?..
Begitupun tentang menahan emosi, sekalipun ingin membalas perbuatan orang lain, bukankah memaafkan itu lebih baik?
Bahkan Allah Sang Pencipta kita pun adalah Maha Pemaaf..?




Tidak ada komentar:

Posting Komentar